HALOSULSEL.COM, WAJO -- Para petani di Kabupaten Wajo kembali menyuarakan keluhannya terkait sulitnya menjual gabah hasil panen ke Bulog. Aspirasi ini mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPRD Wajo bersama Bulog dan perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Kesatuan Rakyat Menggugat (KERAMAT). Kamis (25/9/2025)
Dalam forum tersebut, salah satu aspirator, Arianto Ardi, mengungkapkan kondisi yang dialami petani di lapangan. Menurutnya, gabah petani rata-rata tidak diserap Bulog, melainkan lebih banyak dijual ke tengkulak di Kabupaten Sidrap.
“Memang harga di tengkulak sekitar Rp6.500, tapi potongannya bisa sampai 10 kilogram. Kalau dikalkulasi, kerugian bagi petani cukup besar,” jelas Arianto.
Ia juga menyinggung pernyataan Menteri Pertanian yang sebelumnya meminta petani melapor jika ada Bulog yang tidak mau membeli gabah. Namun, menurut Arianto, kebijakan tersebut seakan tak berjalan di Wajo.
“Bulog seolah tidak menjalankan keputusan Bappenas Nomor 14 Tahun 2025. Akibatnya, banyak pengusaha penggilingan padi di Wajo gulung tikar karena gabah lebih banyak dibawa ke Sidrap,” tambahnya.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, kata dia, produksi beras Wajo yang melimpah tidak akan memberi dampak positif bagi daerah.
Kendala Kuota dan Fasilitas
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi II DPRD Wajo, Herman Arif, menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan kunjungan kerja ke Kantor Wilayah Bulog. Hasilnya, ada beberapa kendala utama yang membuat Bulog Wajo tidak maksimal menyerap gabah petani.
“Pertama, kuota Bulog Wajo sudah penuh. Kedua, sarana dan prasarana kita di sini belum memadai untuk menampung jika kuota ditambah. Ini PR besar kita, bagaimana menambah gudang dan fasilitas pengolahan,” ujar Herman.
Ia juga menyoroti perbedaan dengan daerah tetangga yang kuotanya lebih tinggi meski produksi Wajo jauh lebih besar.
“Kenapa bisa begitu? Karena mereka punya gudang dan pengolahan yang lebih siap. Sementara di Wajo, pengusaha lokal kita masih terbatas. Jadi ke depan, targetnya gudang harus ditambah, sarana disiapkan, dan pengusaha kita juga harus naik kelas dalam mengolah gabah menjadi beras,” tegasnya.
DPRD Siap Kawal Hingga Bappenas
Herman memastikan DPRD Wajo tidak tinggal diam. Menurutnya, masalah ini akan terus dikawal hingga ke tingkat pusat.
“Insyaallah kami akan kawal sampai Bappenas. Bahkan kalau tidak ada agenda paripurna besok, kami siap langsung ke Bappenas,” ungkapnya.
Ia menambahkan, Bulog Wajo saat ini bahkan menyewa gudang di Makassar, sehingga kesulitan menambah kuota penyerapan. “PR kita ke depan bagaimana menambah gudang di Wajo agar kapasitas meningkat. Sementara itu, para pengusaha lokal juga harus upgrade kemampuan finansial dan pengolahan agar bisa bersaing,” pungkas Herman.
Target 3 Ton Telah Terpenuhi, Bulog Tidak Lagi Membeli Gabah Petani
Sebelumnya pihak Bulog Wajo menjelaskan beberapa alasan tidak membeli lagi gabah petani karena target 3 juta ton beras yang ditargetkan oleh pemerintah sudah terpenuhi pada semester pertama.
"Di semester pertama itu kita sudah membeli gabah petani di Wajo seharga Rp 6.500, dan lewat program itu, kita menyerap gabah petani, kalau disetarakan beras itu 30 ribu ton," jelasnya.
Sehingga di semester ke dua ini polanya beda Bulog tidak lagi dianjurkan membeli gabah kering tapi membeli beras komersial.
"Jadi kenapa petani di Wajo saat ini kesulitan menjual gabah ke petani, karena kami tidak lagi membeli gabah tapi beras komersial. Karena kami dituntut untuk mendapatkan profit karena Bulog ini kan BUMN. Sehingga kami juga dituntut untuk mencari keuntungan," terangnya. (Humas DPRD Wajo)