HALOSULSEL.COM, JEMBER -- Hubungan antara Bupati Jember Muhammad Fawait dan wakilnya, Djoko Susanto, tampaknya sedang tidak harmonis. Djoko merasa perannya sebagai wakil bupati kerap diabaikan dalam menjalankan roda pemerintahan. Tak tinggal diam, ia akhirnya melayangkan surat pengaduan resmi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam surat tersebut, Djoko meminta KPK turun tangan memberikan pembinaan sekaligus melakukan pengawasan agar prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik bisa ditegakkan di Kabupaten Jember.
“Benar, KPK menerima surat tersebut terkait pelaksanaan tugas koordinasi dan supervisi di pemerintah daerah,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Rabu (24/9/2025).
Djoko menilai, selama enam bulan terakhir, Bupati Fawait tidak memberikan ruang yang semestinya bagi dirinya untuk menjalankan fungsi wakil bupati sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ia mencontohkan, dirinya tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan kebijakan maupun agenda resmi pemerintahan daerah. Kondisi ini, menurutnya, berdampak pada mandeknya prinsip-prinsip asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Dalam laporannya, Djoko merinci sejumlah persoalan yang muncul akibat sikap bupati:
Pembentukan Tim Pengarah Percepatan Pembangunan Daerah (TP3D) yang dinilai tumpang tindih dengan tugas wakil bupati.
Sistem merit ASN tidak berjalan, sehingga profesionalitas aparatur terancam dan rawan praktik KKN. Bahkan, ada ASN yang disebut dipaksa mengundurkan diri usai pemeriksaan inspektorat.
Pengelolaan APBD yang kurang transparan.
Tata kelola aset daerah lemah, hingga kendaraan dinas dipakai pihak yang tidak berhak.
Koordinasi terhambat dengan OPD, membuat sejumlah ASN berani membangkang kepada wakil bupati.
Hak keuangan dan protokoler wakil bupati tidak direalisasikan.
Menanggapi laporan ini, KPK menegaskan akan terus menjalankan fungsi supervisi dan pendampingan kepada pemerintah daerah. “Salah satunya melalui instrumen Monitoring Controling Surveillance for Prevention (MCSP), yang fokus pada delapan area rawan korupsi,” jelas Budi.
Delapan area itu meliputi: perencanaan dan penganggaran, perizinan, pengadaan barang dan jasa, manajemen ASN, penguatan pengawas internal, pengelolaan aset daerah, optimalisasi pendapatan daerah, serta pelayanan publik.
Budi menambahkan, KPK juga mendorong keterlibatan masyarakat dalam pembangunan daerah. “Partisipasi publik sangat penting sebagai wujud collaborative governance,” ujarnya.
Konflik internal di pemerintahan Jember ini kini menjadi sorotan publik. Semua mata tertuju pada bagaimana KPK dan pemerintah daerah akan menuntaskan masalah yang berpotensi menghambat jalannya pembang
unan di kota tembakau ini. (Red)